Tuesday 18 May 2010

Manakah Yang Harus Diberikan Untuk Pengentasan Masyarakat Miskin dan Mengurangi Tingkat Pengangguran. Dukungan Ekonomi Atau Pendidikan ? (Sebuah Kajian Terhadap Diskusi Di Pos Ronda Desa Kalimekar Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon, 16 Mei 2010, Jam 22.00 – 01.00 Wib Antara Cardi Syukani, Arieya Sutrisno, dan Yus Machrus)


Seringkali Judul Artikel di atas dianggap mirip bagaikan pertanyaan lelucon “Lebih Dulu Mana ayam dengan Telor?

Sebagian besar masyarakat awan mengidentikkan bantuan “Ekonomi” itu sekedar pemberian berupa uang seperti BLT dan program bantuan ekonomi lainnya, sedangkan “Pendidikan” identik dengan belajar di dalam sekolah kemudian lulus mendapatkan ijazah.
Perbedaan pemahaman mengenai mana yang harus dipilih dari 2 (dua) kata yaitu “Ekonomi/Uang” atau “Pendidikan/Sekolah” sering pula membentuk pro kontra pada 2 (dua) kelompok yang berpegang teguh pada pemahaman dan keyakinan masing-masing.

Kelompok Pro “Ekonomi/Uang” memiliki argumen bahwa :
Semua orang faham bahwa orang miskin dan menganggur itu butuh makan sehari-hari untuk bertahan hidup, dan untuk beli makan dibutuhkan uang. Oleh karena itu, sebagian besar orang miskin dan menganggur merasa sangat bahagia dan bersorak jika mendengar akan mendapatkan bantuan uang seperti BLT. Sedangkan “Pendidikan/Sekolah” terbukti tidaklah menjadi solusi karena banyak Sarjana yang menganggur dan akhirnya jatuh miskin tidak seperti orang tuanya yang dulu mampu mengkuliahkan anaknya hingga menjadi Sarjana di Perguruan Tinggi. Bahkan karena telah habis membiayai kuliah anaknya di Perguruan Tinggipun ikut pula orang tuanya jatuh miskin. Kelompok ini berpandangan bahwa ijazah tidak mampu menolong pemilik ijazah tersebut,apalagi kondisi negara saat ini masih belum mampu memberikan kesempatan kerja yang mencukupi.

Kelompok Pro “Pendidikan/Sekolah” memiliki argumen bahwa :
Jikalau orang miskin dan pengangguran berada di tengah hutan belantara yang berisi banyak jenis hewan ganas dan tidak ada seorangpun manusia di dalamnya, bekal uang 1 (Satu) milyardpun belum tentu akan bisa membuatnya bertahan hidup, bahkan bisa jadi uang tersebut tidak akan mampu menolong ketika orang tersebut sudah berada di depan harimau yang sudah membuka lebar-lebar mulut dan menunjukkan cakar maupun taringnya untuk siap menerkam dan menelan orang tersebut bulat-bulat. Tapi bagi seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mencukupi maka kondisi sesulit apapun akan bisa menolong dirinya.
Oleh karena itulah, kelompok ini berpandangan bahwa memiliki ilmu pengetahuan yang mencukupi dirasakan sangat penting. Namun kelompok inipun mengakui kesulitan memanfaatkan ijazahnya untuk melamar kerja karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Dan jika ingin membuka sebuah usahapun diperlukan uang sebagai modalnya, walaupun jika ada modal masih kebingungan untuk mengawali terlebih lagi mengembangkan modal di kegiatan usahanya.

Jika perdebatan ini berlarut-larut, maka sudah dapat diprediksi kedua kelompok inipun sama-sama akan menjadi miskin dan menganggur.
Ternyata perdebatan ini tidak hanya terjadi di Pos Ronda Desa Kalimekar Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon saja, tetapi sudah terjadi pula di kalangan ahli ekonomi seperti yang diceritakan Muhamad Yunus dalam buku Bank Kaum Miskin seorang peraih Hadian NOBEL PERDAMAIAN asal Bangladesh yang penulis peroleh sebagai hadiah dari Ibu Riana Puspasari Jakarta.

Dalam pengantar dari redaksi buku Bank Kaum Miskin Muhammad Yunus yang diterjemahkan oleh sahabat saya Almarhum Irfan Nasution pada hal. vii dijelaskan bahwa “…. sudut pandang ahli-ahli pembangunan dari Barat, mungkin kita berpendapat bahwa orang menjadi miskin karena tidak terampil, tapi Yunus mendapati bahwa orang miskin tidak butuh pelatihan keterampilan. Mereka butuh dana mendesak dan fleksibel”. (Yunus, Muhammad, 2007 : vii)

Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan M. Yunus pada persoalan bahwa orang miskin tidak butuh pelatihan keterampilan, karena orang miskin selain butuh uang mendesak dan fleksibel juga membutuhkan keterampilan berwirausaha.

Masih dalam buku yang sama pada hal. vi dijelaskan bahwa :

“… Yunus mendebat seorang manajer bank yang bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberikan pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena resiko tidak kembalinya sangat besar.Yunus membantah : “Mereka sangat punya alasan untuk membayar anda kembali, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan melanjutkan hidup esok harinya !” Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi Grameen Bank”. (Yunus, Muhammad, 2007 : vi)

Penulis berpendapat bahwa seharusnya kaum miskin diarahkan untuk tidak konsumtif bahkan mampu mengembangkan uang pinjamannya melalui usaha produktif sehingga kaum miskin bukan hanya mampu mengembalikan pinjaman, tetapi juga mampu mengembangkan usaha produktifnya sehingga lambat laun kaum miskin akan mampu melepas belenggu jeratan hutang dari lembaga keuangan manapun.

Kalau sudah demikian, apa sih yang dibutuhkan untuk pengentasan kemiskinan dan juga pengangguran ? Berdasarkan paparan di atas, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa :
“Perlu adanya perubahan pola pikir dan perilaku bagi kaum miskin dan pengangguran agar memiliki jiwa wirausaha sehingga terbentuk menjadi manusia Indonesia yang mampu berpikir dan berperilaku kreatif, inovatif dan produktif melalui kegiatan wirausaha dengan dukungan permodalan yang cukup.
Dengan demikian sekaligus penulis mengatakan secara simple bahwa kaum miskin dan pengangguran perlu diberi pendidikan kewirausahaan melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) serta dukungan modal yang tanpa agunan, tanpa cicilan per bulan tetapi bergulir berdasarkan Pay Back Period (PBP) atau pengembalian modal, tentunya melalui kegiatan yang terencana, terdampingi dan kerjasama dengan Pemerintah dan Perusahaan sangatlah diperlukan”.

Jadi dengan demikian, kedua kelompok tersebut tidaklah harus melanjutkan perdebatan tadi, tetapi segeralah pulang dari Pos Ronda Desa Kalimekar dan bergegaslah untuk segera mengambil langkah agar menjadi wirausahawan baru yang tangguh !!!

No comments:

Post a Comment